MATERI TEMBANG MACAPAT
A.
Sejarah
Tembang Macapat
Secara historis,
Sastrosupadmo (1974:15) menginformasikan bahwa tembang macapat telah ada sejak
zaman Majapahit. Pernyataan ini sebenarnya masih perlu dipertajam lagi, karena
pada zaman Majapahit ada sebagian cendekiawan yang berpendapat bahwa saat itu
yang lebih berkembang adalah kidung. Akan tetapi memang bukan mustahil jika
tembang macapat itu ada sejak 1500 SM. Ketika masyarakat Jawa masih berpaham
animisme dan dinamisme. Bahkan boleh jadi tembang macapat merupakan kelanjutan
dari bentuk kidung, sehingga pada gilirannya muncul sastra suluk bermetrum
macapat (Jumiran, 1996:15).
Sedangkan
Poerbatjaraka (Widayati, 1993:1) berpendapat munculnya kidung bersamaan dengan
tembang macapat. Lebih lanjut Poerbatjaraka (Suharjendra, 1996:1) menyatakan
bahwa tembang macapat muncul sejak zaman kerajaan Demak, kemudian berkembang ke
Pajang, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. Pujangga terakhir yang menggunakan
tembang macapat terakhir adalah R.Ng Ranggawarsita.
Salam (1960:2)
menyatakan bahwa tembang macapat asmaradana dan pucung adalah
ciptaan Sunan Giri. Sedangkan sinom dan kinanthi ialah ciptaan
Sunan Muria. Hasyim (1974: 34-35) menambahkan mijil diciptakan oleh Sunan
kudus, dhandhanggula oleh Sunan Kalijaga, durma oleh Sunan Bonang,
maskumambang oleh Sunan Kudus, pangkur oleh Sunan Drajat, dan gambuh
serta megatruh tidak dijelaskan. Lain dengan Poedjasoebroto
(1978:194-207) yang menjelaskan pocung dan mijil ciptaan Sunan
Gunung Jati, megatruh, gambuh, dan kinanthi ciptaan Sunan
Giri, maskumambang ciptaan Sunan Majagung. Persamaannya terleak pada asmaradana,
durma, dan dhandhanggula.
Perbedaan
pendapat tersebut mengarahkan perhatian cendekiawan Jawa untuk berkesimpulan
sementara bahwa tembang macapat diciptakan oleh para wali yang besar
perhatiannya terhadap seni Jawa. Sejak itu para Wali yang berjumlah sembilan
mulai berkiprah menyebarkan agama islam.
B.
Makna
Tembang Macapat
Makna kara macapat
semula adalah berkumpul dengan menyuarakan puji-pujian. Makna ini berasal dari jarwa
dhosok, macapat yaitu dari kata ma (menuju) dan capet (maya
atau ghaib). Artinya puji-pujian kepada yang ghaib yaitu Tuhan. Makna demikian
relevan dengan situasi masyarakat Jawa ketika belum masuk agama islam.
Sedangkan pada saat agama islam telah berkembang, puji-pujian itu diwujudkan
dengan tembang macapat yang berisi rohani, yaitu sastra suluk (jumiran,
1996:3). Kendatipun demikian, memang sulit ditentukan, mungkinkah sastra suluk
sebagai tonggak kelahiran tembang macapat.
Makna macapat
mengalami pergeseran. Hardjwijono (1994:3) menafsirkan macapat berkaitan dengan
cara membaca (melagukan) empat-empat, yaitu perhentian nafas pada emat suku
kata-empat suku kata. Dalam hal ini macapat yang membaca empat-empat itu harus
diwaca cepet. Yang dimaksud cepat yaitu tidak banyak luk menurut Suharjendra
(1960:19).
Penafsiran
demikian juga beralasan karena dalam tembang macapat diikat oleh berbagai
aturan ketat, seperti guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan.
(Prabowo, 1992:66-67). Dengan aturan yang ketat ini justru membut tembang
macapat semakin digemari orang jawa, yakni tingkeban, kelahiran, dan ultah.
Perkembangan
selanjutnya tembang macapat tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan sastra Jawa
tradisional (laginem, 1992:159) melainkan menurut Darmoatmodjo (1974, Jaya Baya
12 Nonopember) juga dipakai lomba, dengan mengutamakan vokal (cara baca).
Kenyataan ini yang mendukung tembang macapat memiliki kedudukan tersendiri
dalam masyarakat Jawa (Darusuprapto, 1983:15). Eksistensi demikian dimungkinkan
yang membuat tembang macapat masih hidup sampai sekarang (Prabowo, 1993:29).
b.
Macam-macam
Tembang Macapat
Tembang macapat
memuat dua macam wawasan hidup. Pertama, sebagai wawasan hidup berdakwah. Kedua,
sebagai wawasan perjalanan hidup. Sebagai wawasan hidup berdakwah, tembang
macapat berisi anjuran tentang “metode” berdakwah, yakni: dakwah hendaknya
mengingat empan papan, hati-hati mengeluarkan kata (mijil), jangan menyimpang
dari Al-Qur’an dan Hadis (pangkur), menjaga agar tidak bermusuhan (kinanthi), disampaikan
secara enak (dhandhanggula), memberi harapan agar awet muda (sinom), mendorong
agar suka mengekuarkan infak (asmaradana), mendorong agar menjauhkan hawa nafsu
(megatruh), mendorong agar menghindarkan seperti zina dan perilaku buruk
lainnya (durma), memberi pengertin agar tidak merasa berat beribadah (maskumambang),
dan menunjukkan jalan mencapai kesempurnaan (pucung).
Nama-nama
tembang macapat menurut Supadjar (1996:5) secara keseluruhan menggambarkan tahap-tahap
perjalanan hidup manusia. Mijil (keluar/lahir), Sinom (masa
muda), Maskumambang (penuh purba diri), Asmaradana (dana asmara),
Dhandhanggula (mendendangkan kemanisan iman/hidup “hamemayu
hayuningrat”), Durma (mundur, mulai mengundurkan diri), Pangkur
(mungkur / meninggalkan keduniawian), Gambuh (faham / tahu benar), Pocung
(dipocong), dan Kinanthi (amalan apa yang akan dibawa).[1]
c.
Konvensi
Nembang Macapat
Pengertian konvensi
nembang macapat mengaju hal-hal yang harus diperhatikan dalam melagukan tembang.
Suwana (2001) mengelompokkan konvensi nembang macapat menjadi 3 konvensi yaitu
konvensi utama, pendukung, dan anasir tembang. Namun hal yang perlu
diperhatikan secara langsung ketika seseorang melagukan tembang yaitu
1.
Guru
gatra yaitu jumlah larik / baris / gatra setiap pada (bait)
2.
Guru
wilangan yaitu jumlah suku kata setiap baris
3.
Guru
lagu yaitu jatuhnya suara vokal pada setiap akhir baris.
Ketiga hal
tersebut merupakan konvensi utama dalam nembang macapat. Selain itu penembang
hendaknya juga memperhatikan konvensi pendukung agar lagu lebih enak didengar
dan diapresiasi. Konvensi pendukung itu antara lain seperti:
1. Dhenda kerata
adalah cara melagukan tembang harus jelas, tidak vals, bersahaja, tidak terlalu
banyak liuk
2. Andhah swara
yaitu liuk suara yang jatuh pada akhir baris
3. Anung swara
yaitu liuk swara yang jatuh pada suku kata sebelum akhir baris
4. Pedhotan, ada
2 yaitu pedhotan kendho dan kenceng. Pedhotan kendho merupakan
pedhotan yang tidak memutus suku kata dalam satu kata, sedangkan pedhotan
keenceng merupakan pedhotan yang memutus suku kata
5. Andhegan ada
3 yaitu andhegan wantah, alit, dan ageng. Andhegan wantah
(padhang) terletak pada akhir baris, tetapi arti baris itu belum lengkap. Andhegan
alit juga terletak pada akhir baris, tetapi arti baris sudah lengkap namun
belum ultima (paripurna). Andhegan ageng (ulihan) terletak pada akhir
pada (abit) maka telah ultima, penuh, atau sempurna.
6. Wirama
tembang macapat ada 2 yaitu Irma bebas dan irama teratur. Irama bebas srtinya
teknik membirama bebas (sekehendak penembang), sedangkan irama teratur adalah
melagukan tembang dengan mengikuti alunan pembirama secara ajeg.
7. Wilet
adalah variasi titi laras untuk mengolah cengkok.
8. Cengkok adalah
rangkaian titilaras untuk mengolah lagu
9. Luk adalah andhah
swara dan anung swara
10. Gregel adalah
liuk secara cepat(trill)
11. Sliring
adalah mineur karena penyimpangan dari skala nada.
No.
|
Nama
tembang
|
Konvensi
|
1
|
Mijil
|
10-i, 6-o, 10-e, 10-i, 8-i, 6-u
|
2
|
Kinanthi
|
8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i
|
3
|
Sinom
|
8-a, 8-i, 8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a
|
4
|
Asmaradana
|
8-i, 8-a, 8-e, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a
|
5
|
Dhandhanggula
|
10-i. 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, 7-a
|
6
|
Gambuh
|
7-u, 10-u, 12-i, 8-u, 8-o
|
7
|
Maskumambang
|
12-i, 6-a, 8-i, 8-a
|
8
|
Durma
|
12-a, 7-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, 7-i
|
9
|
Pangkur
|
8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i
|
10
|
Megatruh
|
12-u, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o
|
11
|
Pocong
|
12-u, 6-a, 8-i, 12-a
|
Konvensi
d.
Kemampuan
Dasar Melagukan Tembang
Ada empat
kemampuan dasar dalam belajar tembang macapat dan gamelan yaitu kepekaan laras,
pengetahuan titi laras, kepekaan irama dan ritme, serta teknik vokal (Sudarman,
1998, Sugiyarto, 1975).
Laras dalam
konteks pembelajaran tembang mempunyai dua pengertian yaitu nada dan sistem.
Nada adalah suara yang dilambangkan dengan angka-angka, sedangkan sistem adalah
rangkaian nada-nada pada laras.
Berdasarkan
iramanya, tembang dibagi menjadi dua macam yaitu irama metris dan irama ritmis
(Sugiyarto, 1975:1). Menurut Prawiradisastra (1996) menyebutkan dengan wirama
tumata dan wirama mardika. Irama metris atau tumata adalah
irama yang ajeg. Panjang pendek nada dibatasi oleh harga nada. Contoh: tembang
gerongan, sindenan benoyo srimpi, larasmadya. Irama ritmis atau wirama
mardika adalah irama yang menggunakan ritme merdeka. Panjang pendek nada
tergantung selera penembang. Contohnya: macapat lagu waosan, bawa, sindhenan
srambahan, sindhenan sekat, suluk.
Teknik vokal
adalah beberapa teknik yang perlu dilatih agar penembang dapat melagukan dengan
baik. Teknik vokal yang harus dikuasai yaitu:
1.
Cara
mengeluarkan suara
2.
Cara
mengucapkan huruf
3.
Teknis
pemutusan kata
4.
Teknik
pernapasan
5.
Pada
tingkat yang lebih tinggi diperlukan penjiwaan terhadap isi tembang yang
dibawakan.[2]
DAFTAR PUSTAKA
Tembang Macapat dengan Media Kaset Audio dan Gamelan, PK
Melagukan-journal.uny.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar