Kamis, 02 Mei 2019

Suwe Ora Jamu


TEMBANG MACAPAT




MATERI TEMBANG MACAPAT

A.    Sejarah Tembang Macapat
Secara historis, Sastrosupadmo (1974:15) menginformasikan bahwa tembang macapat telah ada sejak zaman Majapahit. Pernyataan ini sebenarnya masih perlu dipertajam lagi, karena pada zaman Majapahit ada sebagian cendekiawan yang berpendapat bahwa saat itu yang lebih berkembang adalah kidung. Akan tetapi memang bukan mustahil jika tembang macapat itu ada sejak 1500 SM. Ketika masyarakat Jawa masih berpaham animisme dan dinamisme. Bahkan boleh jadi tembang macapat merupakan kelanjutan dari bentuk kidung, sehingga pada gilirannya muncul sastra suluk bermetrum macapat (Jumiran, 1996:15).
Sedangkan Poerbatjaraka (Widayati, 1993:1) berpendapat munculnya kidung bersamaan dengan tembang macapat. Lebih lanjut Poerbatjaraka (Suharjendra, 1996:1) menyatakan bahwa tembang macapat muncul sejak zaman kerajaan Demak, kemudian berkembang ke Pajang, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. Pujangga terakhir yang menggunakan tembang macapat terakhir adalah R.Ng Ranggawarsita.
Salam (1960:2) menyatakan bahwa tembang macapat asmaradana dan pucung adalah ciptaan Sunan Giri. Sedangkan sinom dan kinanthi ialah ciptaan Sunan Muria. Hasyim (1974: 34-35) menambahkan mijil diciptakan oleh Sunan kudus, dhandhanggula oleh Sunan Kalijaga, durma oleh Sunan Bonang, maskumambang oleh Sunan Kudus, pangkur oleh Sunan Drajat, dan gambuh serta megatruh tidak dijelaskan. Lain dengan Poedjasoebroto (1978:194-207) yang menjelaskan pocung dan mijil ciptaan Sunan Gunung Jati, megatruh, gambuh, dan kinanthi ciptaan Sunan Giri, maskumambang ciptaan Sunan Majagung. Persamaannya terleak pada asmaradana, durma, dan dhandhanggula.
Perbedaan pendapat tersebut mengarahkan perhatian cendekiawan Jawa untuk berkesimpulan sementara bahwa tembang macapat diciptakan oleh para wali yang besar perhatiannya terhadap seni Jawa. Sejak itu para Wali yang berjumlah sembilan mulai berkiprah menyebarkan agama islam.


B.     Makna Tembang Macapat
Makna kara macapat semula adalah berkumpul dengan menyuarakan puji-pujian. Makna ini berasal dari jarwa dhosok, macapat yaitu dari kata ma (menuju) dan capet (maya atau ghaib). Artinya puji-pujian kepada yang ghaib yaitu Tuhan. Makna demikian relevan dengan situasi masyarakat Jawa ketika belum masuk agama islam. Sedangkan pada saat agama islam telah berkembang, puji-pujian itu diwujudkan dengan tembang macapat yang berisi rohani, yaitu sastra suluk (jumiran, 1996:3). Kendatipun demikian, memang sulit ditentukan, mungkinkah sastra suluk sebagai tonggak kelahiran tembang macapat.
Makna macapat mengalami pergeseran. Hardjwijono (1994:3) menafsirkan macapat berkaitan dengan cara membaca (melagukan) empat-empat, yaitu perhentian nafas pada emat suku kata-empat suku kata. Dalam hal ini macapat yang membaca empat-empat itu harus diwaca cepet. Yang dimaksud cepat yaitu tidak banyak luk menurut Suharjendra (1960:19).
Penafsiran demikian juga beralasan karena dalam tembang macapat diikat oleh berbagai aturan ketat, seperti guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan. (Prabowo, 1992:66-67). Dengan aturan yang ketat ini justru membut tembang macapat semakin digemari orang jawa, yakni tingkeban, kelahiran, dan ultah.
Perkembangan selanjutnya tembang macapat tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan sastra Jawa tradisional (laginem, 1992:159) melainkan menurut Darmoatmodjo (1974, Jaya Baya 12 Nonopember) juga dipakai lomba, dengan mengutamakan vokal (cara baca). Kenyataan ini yang mendukung tembang macapat memiliki kedudukan tersendiri dalam masyarakat Jawa (Darusuprapto, 1983:15). Eksistensi demikian dimungkinkan yang membuat tembang macapat masih hidup sampai sekarang (Prabowo, 1993:29).

b.      Macam-macam Tembang Macapat
Tembang macapat memuat dua macam wawasan hidup. Pertama, sebagai wawasan hidup berdakwah. Kedua, sebagai wawasan perjalanan hidup. Sebagai wawasan hidup berdakwah, tembang macapat berisi anjuran tentang “metode” berdakwah, yakni: dakwah hendaknya mengingat empan papan, hati-hati mengeluarkan kata (mijil), jangan menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadis (pangkur), menjaga agar tidak bermusuhan (kinanthi), disampaikan secara enak (dhandhanggula), memberi harapan agar awet muda (sinom), mendorong agar suka mengekuarkan infak (asmaradana), mendorong agar menjauhkan hawa nafsu (megatruh), mendorong agar menghindarkan seperti zina dan perilaku buruk lainnya (durma), memberi pengertin agar tidak merasa berat beribadah (maskumambang), dan menunjukkan jalan mencapai kesempurnaan (pucung).
Nama-nama tembang macapat menurut Supadjar (1996:5) secara keseluruhan menggambarkan tahap-tahap perjalanan hidup manusia. Mijil (keluar/lahir), Sinom (masa muda), Maskumambang (penuh purba diri), Asmaradana (dana asmara), Dhandhanggula (mendendangkan kemanisan iman/hidup “hamemayu hayuningrat”), Durma (mundur, mulai mengundurkan diri), Pangkur (mungkur / meninggalkan keduniawian), Gambuh (faham / tahu benar), Pocung (dipocong), dan Kinanthi (amalan apa yang akan dibawa).[1]

c.       Konvensi Nembang Macapat
Pengertian konvensi nembang macapat mengaju hal-hal yang harus diperhatikan dalam melagukan tembang. Suwana (2001) mengelompokkan konvensi nembang macapat menjadi 3 konvensi yaitu konvensi utama, pendukung, dan anasir tembang. Namun hal yang perlu diperhatikan secara langsung ketika seseorang melagukan tembang yaitu
1.      Guru gatra yaitu jumlah larik / baris / gatra setiap pada (bait)
2.      Guru wilangan yaitu jumlah suku kata setiap baris
3.      Guru lagu yaitu jatuhnya suara vokal pada setiap akhir baris.
Ketiga hal tersebut merupakan konvensi utama dalam nembang macapat. Selain itu penembang hendaknya juga memperhatikan konvensi pendukung agar lagu lebih enak didengar dan diapresiasi. Konvensi pendukung itu antara lain seperti:
1.      Dhenda kerata adalah cara melagukan tembang harus jelas, tidak vals, bersahaja, tidak terlalu banyak liuk
2.      Andhah swara yaitu liuk suara yang jatuh pada akhir baris
3.      Anung swara yaitu liuk swara yang jatuh pada suku kata sebelum akhir baris
4.      Pedhotan, ada 2 yaitu pedhotan kendho dan kenceng. Pedhotan kendho merupakan pedhotan yang tidak memutus suku kata dalam satu kata, sedangkan pedhotan keenceng merupakan pedhotan yang memutus suku kata
5.      Andhegan ada 3 yaitu andhegan wantah, alit, dan ageng. Andhegan wantah (padhang) terletak pada akhir baris, tetapi arti baris itu belum lengkap. Andhegan alit juga terletak pada akhir baris, tetapi arti baris sudah lengkap namun belum ultima (paripurna). Andhegan ageng (ulihan) terletak pada akhir pada (abit) maka telah ultima, penuh, atau sempurna.
6.      Wirama tembang macapat ada 2 yaitu Irma bebas dan irama teratur. Irama bebas srtinya teknik membirama bebas (sekehendak penembang), sedangkan irama teratur adalah melagukan tembang dengan mengikuti alunan pembirama secara ajeg.
7.      Wilet adalah variasi titi laras untuk mengolah cengkok.
8.      Cengkok adalah rangkaian titilaras untuk mengolah lagu
9.      Luk adalah andhah swara dan anung swara
10.  Gregel adalah liuk secara cepat(trill)
11.  Sliring adalah mineur karena penyimpangan dari skala nada.
No.
Nama tembang
Konvensi
1
Mijil
10-i, 6-o, 10-e, 10-i, 8-i, 6-u
2
Kinanthi
8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i
3
Sinom
8-a, 8-i, 8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a
4
Asmaradana
8-i, 8-a, 8-e, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a
5
Dhandhanggula
10-i. 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, 7-a
6
Gambuh
7-u, 10-u, 12-i, 8-u, 8-o
7
Maskumambang
12-i, 6-a, 8-i, 8-a
8
Durma
12-a, 7-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, 7-i
9
Pangkur
8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i
10
Megatruh
12-u, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o
11
Pocong
12-u, 6-a, 8-i, 12-a
Konvensi


d.      Kemampuan Dasar Melagukan Tembang
Ada empat kemampuan dasar dalam belajar tembang macapat dan gamelan yaitu kepekaan laras, pengetahuan titi laras, kepekaan irama dan ritme, serta teknik vokal (Sudarman, 1998, Sugiyarto, 1975).
Laras dalam konteks pembelajaran tembang mempunyai dua pengertian yaitu nada dan sistem. Nada adalah suara yang dilambangkan dengan angka-angka, sedangkan sistem adalah rangkaian nada-nada pada laras.
Berdasarkan iramanya, tembang dibagi menjadi dua macam yaitu irama metris dan irama ritmis (Sugiyarto, 1975:1). Menurut Prawiradisastra (1996) menyebutkan dengan wirama tumata dan wirama mardika. Irama metris atau tumata adalah irama yang ajeg. Panjang pendek nada dibatasi oleh harga nada. Contoh: tembang gerongan, sindenan benoyo srimpi, larasmadya. Irama ritmis atau wirama mardika adalah irama yang menggunakan ritme merdeka. Panjang pendek nada tergantung selera penembang. Contohnya: macapat lagu waosan, bawa, sindhenan srambahan, sindhenan sekat, suluk.
Teknik vokal adalah beberapa teknik yang perlu dilatih agar penembang dapat melagukan dengan baik. Teknik vokal yang harus dikuasai yaitu:
1.      Cara mengeluarkan suara
2.      Cara mengucapkan huruf
3.      Teknis pemutusan kata
4.      Teknik pernapasan
5.      Pada tingkat yang lebih tinggi diperlukan penjiwaan terhadap isi tembang yang dibawakan.[2]















DAFTAR PUSTAKA

Tembang Macapat dengan Media Kaset Audio dan Gamelan, PK Melagukan-journal.uny.ac.id








[1] http://eprints.uny.ac.id/5095/1/Wawasan_Hidup_Jawa_dalam_Tembang_Macapat.pdf
[2] Tembang Macapat dengan Media Kaset Audio dan Gamelan, PK Melagukan– journal.uny.ac.id

Symphony Raya